Selasa, 25 Oktober 2011

Upaya me-REDUKSI (Memotong) Syari’at Jihad & Istilah Islam lainnya dengan DERADIKALISASI


Yogyakarta, 24 Oktober 2011 – Ditengah hiruk pikuk pernikahan putri Raja Ngayogyokarto Sultan Hamengkubuwono X yang katanya Super Megah serta pemberitaan media yang “Super Megah” pula (karena ditayangkan secara terus menerus bahkan selalu masuk Headline News dan mengalahkan berita pembantaian dan pembakaran rumah warga Muslim di Ambon), ternyata hal tersebut tidak mempengaruhi persiapan acara Kajian Ilmiah dan Bedah Buku bertajuk “Mewaspadai Upaya Becah Belah &Pendangkalan Aqidah Umat Islam dengan DERADIKALISASI”.

Kajian ilmiah dan bedah buku yang diselenggarakan oleh Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (MMM) Yogyakarta dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) D.I. Yogyakarta tersebut, ternyata lepas (atau dilepaskan) dari “mata” kamera para juru warta baik media cetak maupun media-media TV nasional yang pada waktu itu masih berada di Yogyakarta. Hal ini sungguh ironi,sebab jarak antara Keraton Yogyakarta tempat acara pernikahan berlangsung dengan tempat acara kajian ilmiah dan bedah buku hanya berjarak kurang dari 5 km. Acara pernikahan yang sarat dan kental dengan ritual syirik yang bisa merusak aqidah umat islam Indonesia ditayangkan berulang kali di TV-TV, ternyata bisa mengalahkan acara kajian ilmiah yang sangat berpotensi mencerdaskan masyarakat.

Kajian ilmiah dan bedah buku sendiri diadakan pada hari Ahad pagi 23 Oktober 2011 bertempat di Aula Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Jogja.Dalam acara yang merupakan refleksi dari sebuah buku yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta berjudul “Kritik Evaluasi dan Dekontruksi Gerakan Deradikalisasi Aqidah Muslimin di Indonesia” ini, tampil sebagai pembicara yaitu Pimpinan Ponpes Al-Islam Solo yang sekaligus mewakili MUI Surakarta, KH. Mudzakkir. Kemudian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah hadir Prof. Dr. Yunahar Illyas, MA. Serta H. M. Mahendradatta, SH.MA.MH.Ph.D, selaku Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM).

Acara sendiri berjalan dengan lancar dan menuai antusiasme yang luar biasa dari para peserta yang didominasi oleh mayoritas dari warga Muhammadiyah. Bukti dari hal ini adalah banyaknya para peserta yang datang lebih awal (jam 08.00 Aula sudah penuh), padahal acara baru akan dimulai pukul 09.00 wib sampai dhuhur.

Pada Pemaparan awal disampaikan oleh KH. Mudzakkir Perwakilan dari MUI Surakarta, beliau mengatakan “Usaha-usaha yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme dengan dalih deradikalisasi sebenarnya adalah upaya deislamisasi terhadap nilai-nilai keislaman.” Ucap beliau

Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa apa yang dinamakan sebagai kasus-kasus terorisme sekarang ini tidak lain merupakan rekayasa orang-orang yang anti islam. “Berbicara masalah Terorisme, maka hal itu tidak terlepas dari berbagai kepentingan para penguasa negeri ini dan juga Barat. Maka dengan hal itu HARAM bagi saya dan seorang muslim untuk mempercayai segala pemberitaan yang berkembang di media-media (baik cetak atau elektronik - red) sekuler bila belum jelas sumbernya. Toh mereka (media) mendapat berita hanya dari satu sumber saja, yaitu dari polisi. Dalam islam, Allah melarang kita untuk mempercayai berita yang datangnya dari orang fasik, in jaa-akum fasiqun bi nabain fatabayyanu”. Tegas beliau

Dalam hal ini, beliau memberi contoh bahwa pada waktu pelaku Bom Bali I masih hidup dan berada didalam penjara Nusakambangan, maka beliau bisa ber-tabayun langsung dengan mereka. Dan mereka memang mengakui telah memasang Bom di beberapa tempat di Bali. Tapi menurut beliau dan beberapa pakar dan ahli Bom, Bom yang dipasang Amrozi CS itu hanya bisa melukai beberapa orang saja. Tapi fakta dilapangan, kenapa Bom yang seharusnya hanya bisa melukai beberapa orang kemudian bisa membunuh 202 orang??? Dan yang lebih aneh lagi, Bom yang digunakan Amrozi CS jenisnya TNT, tapi pada waktu olah TKP, yang ditemukan polisi berjenis Mikro Nuklir.

Terakhir, beliau mengimbau kepada ummat islam jangan latah menuduh saudara muslim lainnya dengan sebutan teroris atau pelaku Bom Bunuh diri. “Saya himbau kepada ummat islam jangan mudah menyebut saudara muslim lainnya dengan sebutan teroris. Jangan pula dengah mudahnya menuduh saudara muslim lainnya melakukan Bom atau Bunuh Diri. Sebab orang-orang yang yang meninggal tersebut atau orang-orang yang ditembak mati Densus 88 itu belum kita klarifikasi dan belum pula disidangkan seperti yang terjadi pada Noordin Muh. Top, Dr. Azhari atau 2 orang yang ditembak mati Densus 88 di Cawang Jakarta Timu. Terlepas kita setuju atau tidak dengan cara mereka. Pada waktu terjadi ledakan di Masjid Adz Dzikro komplek Polres Cirebon, dihadapan para wartawan saya katakan bahwa peristiwa tersebut tidak benar. Tapi apakah kita tau, betul gak dia itu yang murni melakukannya, betul gak dia itu melakukan bom bunuh diri atau dia sebenarnya yang dibunuh dan hanya diperalat oleh tangan-tangan gelap intelejen??? Tapi didalam pemberitaan yang berkembang, dibuatlah opini bahwa mereka-mereka itu melakukan Bom Bunuh Diri. Jadi dalam hal ini kita harus pandai-pandai menelaah berita.” Tutup beliau

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Yunahar Iliyas, MA. pertama kali mengatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh umat manusia dan tidak pernah mengajarkan kekerasan, namun beliau menambahkan bahwa hal tersebut bukan berarti melarang umat Islam untuk melakukan tindakan yang secara fisik bersifat “keras”.

Yang dimaksud dengan kekerasan dalam konteks ini bukanlah semua tindakan-tindakan yang bersifat fisik, sebab kalau semua tindakan-tindakan fisik masuk dalam kategori tindak kekerasan maka hukuman pidana yang diatur dalam hukum Islam pun bisa include dalam kategori tindak kekerasan misalnya terkait penerapan hukuman pancung (baca - mati) bagi pelaku pembunuhan, potong tangan dan hukum-hukum terkait peperangan. Dalam masalah terrorisme, sampai saat ini belum terdapat definisi yang diterima oleh semua pihak tentang apa itu “terrorisme”. Secara politik, sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan penilaian yang berbeda.

Jadi dalam hal ini, yang dimaksud tindak kekerasan adalah perbuatan yang melanggar hukum. Sedangkan bentuk hukum yang dijadikan acuan ummat islam harusnya adalah bersumber dari Al Qur’an dan As Sunah Shohihah.

“Pejuang Hamas adalah terroris menurut pemerintah Israel, namun bagi rakyat Palestina mereka adalah pejuang kemerdekaan (freedom fighter) bangsa Palestina yang berusaha membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Begitu juga ketika Belanda menguasai Indonesia, para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia akan dicap terroris oleh pemerintah kolonial pada masa tersebut. Namun bagi rakyat Indonesia para pejuang tersebut adalah pahlawan kemerdekaan yang jika gugur akan dimakamkan di makam pahlawan.” Tambah beliau.

Dalam skala internasional, hal yang menjadi persoalan adalah adanya ketidakadilan dan ketidakseimbangan kekuatan politik dunia. Karena dunia dikuasai oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, maka semua yang bertentangan dengan kepentingan Amerika dan sekutunya akan dianggap sebagai tindakan terrorisme.

Yang ke-dua beliau sedikit memberikan informasi kepada MUI Solo dan yang hadir semua bahwa tidak ada nama Hamka Hasan yang diklaim BNPT sebagai klien orang MUI Pusat. “Saya sudah lama di MUI Pusat, tapi baru akhir-akhir ini mendengar nama Hamka Hasan. Biasanya kalau ada acara keluar, yang diamanahi dan sering tampil ke publik adalah KH. Ma’ruf Amin. Jadi jelas BNPT dalam hal ini memang ingin memecah belah ummat islam dengan “membonceng” nama MUI Pusat sebagai covernya”.

Ketiga, dalam membahas masalah Jihad, Prof. Yunahar juga mengatakan bahwa saat ini terdapat berbagai upaya untuk mereduksi(memotong) makna Jihad. Baik dilakukan oleh kalangan umat Islam sendiri maupun oleh kalangan yang antipati terhadap Islam. Banyak kalangan yang terjebak dalam memahami bahwa perang dalam Islam hanya dilaksanakan dengan tujuan mempertahankan diri.

Beliau mengutip perkataan Sayyid Qutub rh. yang mengatakan bahwa Jihad dalam arti Qital (perang) tidak hanya dilakukan semata-mata untuk membela diri apabila umat Islam diperangi maupun diusir dari negerinya, akan tetapi Jihad juga dibenarkan dalam rangka menegakkan agama. Beliau mencontohkan dengan penaklukan daerah Syam di bawah komando Abu Ubaidah bin Jarrah ra. serta Khalid bin Walid ra. yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. yang dilakukan bukan dalam rangka membela diri namun demi memperluas dan menegakkan Islam.

“hari ini, Jihad-pun dan istilah islam lainnya di REDUKSI. Yang ingin mereduksi adalah orang yang antipati dengan islam, dan bahkan kebanyakan dari orang islam sendiri yang mengikuti kemauan hawa nafsunya. Berperang di jalan Allah atau Jihad tidak hanya sekedar untuk membela dir. Tapi Jihad juga bisa berarti untuk menegakkan agama dan menghilangkan fitnah. Fitnah bisa diartikan dengan menghalangi manusia untuk beribadah kepada Allah. Beribadah itu artinya luas, termasuk ber-Jihad dijalan Allah sebagai upaya untuk menegakkan hukum-hukum Allah dimuka bumi juga masuk dalam kategori Ibadah”. Tutup beliau

Sementara itu praktisi hukum dari Tim Penggacara Muslim, Mahendradatta menyampaikan bahwa banyak sekali terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam praktek penanngulangan terrorisme, terutama dalam masalah peradilan. Banyak fakta-fakta yang diminta oleh TPM untuk dibuka di pengadilan dalam berbagai persidangan kasus terrorisme namun sengaja ditutupi oleh majelis hakim maupun pihak yang berwenang.

Beliau juga menyampaikan bahwa kasus terorisme merupakan stigmatisasi untuk memperburuk citra umat islam dan islam itu sendiri. “Kasus terorisme merupakan stigmatisasi dan penggiringan opini untuk memperburuk umat islam. Buktinya adalah pada waktu seorang yang dianggap teroris ditangkap, rame-rame media memberitakannya secara LIVE dengan sangat negatif sekali. Tapi pada waktu masuk persidangan dan sidang dilakukan terbuka untuk umum, tidak ada satu-pun media yang memberitakannya secara LIVE, kecuali sidang Ust. Abu Bakar Ba’asyir, namun hal itu-pun sarat dengan rekayasa”. Ujar beliau

Dengan lantang beliau juga mengatakan, ummat islam jangan takut dikatakan sebagai teroris, sebab TERORIS ITU ISLAM. “Hari ini saya katakan bahwa yang hadir jangan takut kalau setelah acara ini dikatakan sebagai pengikut teroris atau pembenar aksi terorisme atau bahkan sebagai teroris-nya. Sebab TERORIS ITU ISLAM. Bukti dari hal ini adalah yang membantai dan membakar rumah-rumah warga muslim di Ambon beberapa minggu dan hari yang lalu bukan disebut teroris, yang menembak aparat dan warag sipil di Papua kemarin juga bukan teroris (padahal senjata yang mereka gunakan lebih canggih dari senjata teroris islam), Republik Maluku Sarani (RMS) bukan teroris, dan Organisasi Papua Merdeka juga bukan teroris. Kenapa mereka tidak disebut TERORIS, karena mereka BUKAN ORANG ISLAM”. Lanjut beliau

Beliau sedikit menambahkan, “Kenapa saya berani mengatakan teroris itu islam, karena saya sudah melakukan penelitian dan perbincangan dengan para Hakim dan Jaksa yang menangani kasus terorisme. Pada waktu saya tanya, Apa definisi Teroris dan Terosime itu Pak Hakim dan Pak Jaksa??? Mereka gak bisa jawab. Akhirnya, saya-pun yang menjawab pertanyaan saya sendiri. Apakah yang disebut terioris itu yang suka ngebom-ngebom, kalau seperti itu, kenapa Israel dan Amerika tidak disebut teroris? Kalau yang disebut terioris itu yang membunuh warga sipil, kenapa Salibis OPM yang nembaki warga diangko-angkot tidak disebut teroris, kenapa Salibis Ambon dan Poso yang membantai warga sipil pada waktu Iedul Fitri tidak disebut teroris?” ungkap beliau

Kemudian yang paling aneh menurut beliau adalah, “Pencetus kata terorisme saja belum bisa mendefinisikan teroris dan terorisme itu apa, lha kita yang hanya mendengar kok sudah rame-rame menuduh si A teroris, si B teroris dan menyudutkan mereka sehingga menganggap mereka suatu abrang najis yang ahrus dihindari. Bahkan yang paling ironi yaitu ada banyak dari ummat islam atau kelompok islam atau parpol islam yang membuat spanduk tolak terorisme dan lain sebagainya”.

Terakhir beliau menjelaskan, sepengetahuan beliau bahwa buku ini adalah reaksi dari fitnah yang telah dilakukan oleh BNPT melalui oknum-oknum yang diklaim oleh mereka sebagi orag MUI Pusat. Jadi buku ini bukanlah pembenar atau pembela dari setiap aksi Bom atau kejadian yang disebut tindakan terorisme oleh orang yang anti islam (meskipun dia secara KTP bertuliskan islam - red).

“Jadi buku ini hanya sekedar khazanah keilmuan. Karena saya akhir-akhir ini mendengar bahwa Jaksa Agung Muda Intelejen (Jamintel) Kejagung mencekal dan melarang 9 buku-buku islam bahkan ada buku Tafsir yang dianggap mempunyai visi radikal, saya anggal hal itu terlalu berlebihan dan sangat jelas untuk melemahkan ajaran islam. Kalau Jamintel Kejagung mau mencekal dan melarang buku, harusnya Buku Tadzkiroh milik Ahmadiyah dan dianggap sebagai Kitab Suci-nya harusnya yang dilarang terlebih dahulu.” Tutup beliau

Buku ini dikeluarkan oleh MUI kota Surakarta dengan tujuan bukan hanya untuk menolak stigma negatif terhadap Islam, namun juga berusaha memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya menangani persoalan “terrorisme”. Karena terdapat banyak sekali unsur ketidakadilan dalam setiap penyelesaian masalah terrorisme, baik yang berskala nasional maupun international yang memberikan dampak-dampak negatif bagi pribadi muslim maupun dakwah islamiyah. (Ammar/KRU FAI)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites